STMIK GANESHA

Mengusulkan Amandemen UU Kewarganegaraan dan UU Keimigrasian

on Selasa, 06 April 2010

Kompas - 16 Mei 2005

http://www.indonesia-ottawa.org/information/details.php?type=news_copy&id=3069

ALIANSI Pelangi Antar-Bangsa dalam dengar pendapat dengan Badan Legislasi DPR mengajukan usulan untuk amandemen Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Keimigrasian.

Menurut APAB, yang disampaikan juru bicaranya Dewi Tjakrawinata, kedua undang-undang tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1984, dan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia. Kedua undang- undang itu juga tidak sesuai dengan perubahan zaman.

Tujuan APAB adalah agar tercapai persamaan hak perempuan dan laki-laki dalam hal kewarganegaraan, keimigrasian, ahli waris dan warisan; penghapusan hukum yang diskriminatif terhadap perempuan; hak bekerja di Indonesia bagi istri/ suami dan anak warga negara asing (WNA) dari perkawinan campur.

Undang-Undang Kewarganegaraan, menurut APAB, memberatkan warga negara karena menetapkan bahwa kewarganegaraan anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayah, dan sama sekali tidak membolehkan dwikewarganegaraan.

Undang-Undang Keimigrasian menyatakan bahwa orang asing di Indonesia karena hubungan darah atau perkawinan dengan warga negara Indonesia (WNI) diperlakukan sama dengan orang asing yang berada di Indonesia karena kepentingan kerja, bisnis, atau wisata.

Kedua undang-undang itu menimbulkan banyak sekali masalah bagi keluarga perkawinan campur antarbangsa. Persoalan itu antara lain, ibu tidak otomatis punya hak asuh bagi anaknya karena berbeda kewarganegaraan, anak (WNA bila ayahnya orang asing) tidak boleh bersekolah di sekolah negeri dan bekerja di Indonesia, istri/suami WNA tidak punya hak bekerja di Indonesia, dan terjadi banyak pelanggaran hukum yang tidak disengaja karena seorang ibu WNI/WNA ingin mempertahankan anaknya yang berbeda kewarganegaraan.

APAB menyatakan memiliki catatan sejumlah kasus, seperti antara lain perempuan di daerah Kalimantan yang menikah dengan warga asing lalu bercerai, kerepotan mengurus izin tinggal anaknya yang kewarganegaraannya mengikuti ayahnya yang orang asing. "Dalam hal terjadi kekerasan, belum sempat istri warga Indonesia melaporkan suaminya, suami sudah meninggalkan Indonesia dengan membawa serta anak," papar Dewi.

MASALAH-masalah di atas otomatis hilang bila warga Indonesia yang terikat perkawinan dengan warga asing dibolehkan memiliki dwikewarganegaraan, sedangkan WNA yang mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dengan WNI diizinkan memiliki status penduduk tetap.

Dibolehkannya dwikewarganegaraan itu, menurut APAB, didasarkan asas timbal balik (resiprositas) di dalam UU Kewarganegaraan, dan diadakannya status penduduk tetap di dalam UU Keimigrasian yang memungkinkan suami/istri atau anak WNA dari seorang WNI tinggal dan menetap dengan hak yang sama dengan warga negara kecuali dalam hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Dengan status penduduk tetap, bila perkawinan putus atau terjadi kematian pada pasangan, suami/istri WNA dapat tetap tinggal di Indonesia; dibebaskan dari keharusan memiliki visa kunjungan yang dialihkan menjadi izin tinggal bagi istri/suami atau anak WNA atau paling tidak dipermudah; suami/istri dan anak WNA dari seorang WNI dapat bekerja tanpa harus memiliki sponsor perusahaan dan dibebaskan dari status expatriate seperti diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Disebutkan Dewi, untuk mengurus izin tinggal di Indonesia, seorang WNA atau anak WNA dengan ibu WNI harus mengurus 10 jenis dokumen, sedangkan untuk WNA yang akan bekerja di Indonesia ada 14 dokumen.

Dalam kajian APAB terhadap peraturan dwikewarganegaraan 198 negara, 53 negara memberi dwikewarganegaraan tanpa syarat apa pun, 15 negara memberi dwikewarganegaraan dengan banyak larangan khusus, 37 negara tidak memberi dwikewarganegaraan tetapi memberi banyak kekecualian, antara lain status penduduk tetap untuk pasangan perkawinan antarbangsa dan anak yang lahir dari perkawinan itu, 15 negara melarang sama sekali tanpa syarat apa pun, dan 9 negara tidak diketahui.(Ninuk MP)

0 komentar:

Posting Komentar