STMIK GANESHA

Opini Publik Versus Penegakan Hukum

on Selasa, 06 April 2010

Oleh : Abi Jumroh Harahap

Opini publik pasca reformasi di Indonesia adalah sebuah kebebasan melemparkan ide, pendapat, pemikiran dan menyebarkan pernyataan dan komentar baik secara individu maupun institusi.

Kita dapat menyaksikan bagaimana opini publik menyoroti sesuatu hal yang terkadang awalnya persoalan kecil dan biasa berobah menjadi persoalan yang luar biasa. Opini publikpun menggelinding menjadi tirani (tiran) yang mampu menggilas sekat-sekat kekuasaan, politik, sosial dan hukum.

Hal ini menarik untuk dicermati, karena bagaimanapun opini publik telah menjadi suatu yang sentral dan mampu menyita perhatian, menguras energi bagi yang mengikuti dan menelaahnya, opini publik bisa berubah menjadi sebuah tirani, namun apakah tirani yang positif atau negatif?.

Sering terjadi akhir-akhir ini dalam sejarah perjalanan bangsa semisal kasus Bibit-Chandra versus Polri yang pada saat itu muncul istilah Cicak versus Buaya. Opini publik yang berkembang bahwa anggota KPK Bibit-Chandra sengaja dibidik atau dikriminalkan karena faktor sepak terjangnya memberantas korupsi tidak disukai banyak kalangan. Secara institusi, Komisi III DPR RI ketika dengar pendapat dengan jajaran Polri dan KPK sepertinya mengambil sikap yang tendensius membela Polri dalam kasus tersebut dan terkesan melawan arus karena kontradiktif dengan opini publik yang berkembang yang meyakini Bibit-Chandra tidak bersalah, hal itu berarti sikap Komisi III DPR RI mengesampingkan opini publik yang mengalir bak gelombang tsunami yang dimotori oleh media-media.

Desakan publik melalui media maya, seperti jejaring sosial facebook dan media jalanan dengan demonstrasi yang mendukung KPK beberapa waktu lampau, semestinya direspons serius oleh legislatif. Polri dan KPK saban hari melakukan konfrensi pers, klarifikasi dan ajang klaim menurut versi masing-masing dan menjadi sebuah tontonan yang terus menyedot perhatian publik. Legislatif mendapat legitimasi atau lebih tegas disebut juga sebagai persetujuan publik saat mereka memenangi pemilu. Dalam konteks ini, ketundukan pada publik menjadi hal jelas untuk dipilih. Alasan lain, seperti penegakan hukum dan semacamnya, jangan sampai melangkahi asas konstituensi yang merujuk fungsi legislatif sebagai penyambung lidah publik dalam institusi politik bernegara.

Wadah Kontrol

Sebaliknya, masyarakat bisa memberikan kontrol kepada legislatif, yudikatif dan eksekutif melalui opini publik sebagai upaya melakukan tekanan moral. Kontrol melalui opini publik mengandung konsekuensi terhadap legitimasi kekuasaan. Jika yang dikritik tidak merespons bahkan abai, tekanan moral bisa berubah menjadi tekanan fisik, berujung pada instabilitas sosial politik. Baik pemerintah atau warga negara sama-sama mempunyai senjata dan kapasitas untuk menjadi tiran. Namun, yang perlu dilihat lebih jernih adalah tujuan yang ingin dicapai. Ini untuk membedakan antara dimensi tiran yang negatif dan positif.

Memang demokrasi berfungsi sebagai media pemberi legitimasi atas opini publik bahwa adanya kebebasan individual. Dengan bebas berbicara dan media massa yang investigatif dan informatif, membuat kapasitas warga negara dalam aneka hubungan publik kian baik. Semua persepsi mereka bisa dipertanggungjawabkan.

Kekhawatiran atas munculnya tirani publik dilatarbelakangi adanya kecurigaan atas agenda terselubung yang membuat opini publik tidak muncul alami dan netral, bebas dari kepentingan pihak-pihak tertentu. Sejatinya, jika dilihat lebih jauh, ruang publik sendiri merupakan ajang perebutan klaim. Di dalamnya terbuka silang pendapat, negosiasi, dan berujung terbentuknya konsensus atau disensus. Ruang publik menjanjikan terpenuhinya perdebatan di mana warga negara bisa menilai bagian mana dari opini yang dianggap rasional dan irrasional.

Namun demikian, dari sisi lain, ada saja pihak yang menolak legitimasi opini publik. Tetap ada elemen masyarakat berasumsi bahwa legitimasi publik bukan sebagai subyek bagi kedaulatan umum sehingga menyebut opini publik sebagai hantu atau sesuatu yang abstrak dan tidak bermanfaat dan mereka alergi dengan namanya opini publik yang dianggap memberi kekacauan.

Penegakan Hukum

Sejak lama, rezim yang tiran berkonotasi buruk. Gambarannya begitu dramatis dan bertalian erat dengan penggunaan kekuasaan sewenang-wenang, despotik, serakah, dan bertangan besi. Konotasi itu mewakili tiran yang buruk dan cenderung melekat pada kekuasaan pemerintah. Tirani publik juga bisa disebut bagian pengejawantahan agenda kontrol yang ketat. Pemerintah harus tahu, publik juga bisa menampar wajah mereka yang korup saat diberi kesempatan untuk berkuasa. Jika saluran politik di legislatif dianggap tidak mampu mengingatkan eksekutif atau saat eksekutif terlena, jangan salahkan publik untuk memanfaatkan kekuasaannya.

Opini dan institusi juga tidak selalu berlawanan, ada kalanya seirama dan sejalan, bila kita mereduksi kasus Bank Century yang mana hasil paripurna DPR RI menyatakan bailout Bank Century bermasalah dan sejalan dengan opini publik yang berkembang melawan eksekutif untuk mendorong percepatan penegakan hukum melalui KPK, tetapi ketika KPK dengan tegas tidak tunduk pada proses politik yang ada dan opini publik ini dan itu, KPK hanya melihat dan mencari fakta hukum untuk menuntut seseorang dan akhirnya membuat arus opini publik seolah-olah berjalan melamban.

Krisis penegakan hukum yang tercermin dalam kasus perseteruan antar lembaga penegak hukum telah menyebabkan kemarahan publik. Tiran yang baik amat dibutuhkan guna menjaga keseimbangan politik, terutama jika yang prosedural-formal menjauhi yang substansial. Lambat laun, kebebasan, kedewasaan, dan kematangan warga negara tidak bisa dianggap sebelah mata. Ruang publik yang terbuka memungkinkan percepatan informasi, ketanggapan tindakan, dan ketajaman tuntutan.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kasus hukum Prita versus RS Omni Internasional, kasus tersebut bermula dari keluh kesah Prita lewat media internet yang kemudian disebarkan ke banyak user dan hal ini dianggap sebagai pencemaran nama baik. Publik langsung merespons kemudian melemparkan opini-opini publik dengan gencar, khususnya opini dukungan yang luar biasa dari jejaring sosial facebook.

Opini publik yang hebat telah menggerus keegoan lawan Prita yang kemudian tidak lagi menuntut Prita, ternyata opini publik bisa memaksa banyak pihak harus membuka mata dan hati nurani dan mampu melintasi kekuatan yuridis normatif.

Hal yang sama juga terjadi pada institusi Polri yaitu Susno versus Polri, opini terkini terasa makin panas dan pemberitaannya terus diulang-ulang oleh media tentang tuduhan Susno adanya makelar kasus di Mabes Polri terkait dengan kecurigaan rekening Gayus Tambunan seorang petugas pajak, namun opini publik kali ini terasa berbeda, mungkin faktor Susno yang notabene masih anggota Polri dan sekalipun berani blak-blakan membuka aib institusinya, sehingga opini publik terus menggelinding, namun banyak pihak memberikan opini dengan penuh kehati-hatian, sebab bila Susno tidak memiliki data yang kuat, hal ini akan menjadi fitnah bagi Polri sebagai institusi, lagi-lagi opini publik bisa menghakimi, memvonis persoalan yang menyita perhatian publik walaupun dalam penegakan hukumnya belum tentu bersalah atau hasil penegakan hukum tenggelam akibat gilasan leading opinion.

Untuk itu, lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif perlu berhati-hati karena bisa saja kelak demonstrasi besar-besaran tidak lagi digerakkan oleh ideologi atau aktifis mahasiswa, partai politik, LSM dan masyarakat umum di lapangan. Warga negara yang sadar hak bisa bergerak cukup dengan berita, pesan, pendapat dan fakta yang menggugah mereka, yang diusung media massa itulah "Opini Publik" dan senantiasa bisa menjadi tirani yang mampu melintasi sekat-sekat kekuasaan, politik, sosial dan hukum.***

0 komentar:

Posting Komentar